Tapai Ketan Hidangan Paforit Lebaran
Tapai Ketan Hidangan Paforit Lebaran
Setiap tahun, menyambut Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Desa Sriwidadi menggelar serangkaian tradisi unik yang mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal. Salah satu yang paling menonjol adalah persiapan kue lebaran, di mana mayoritas warga memilih membuat sendiri hidangan tradisional ketimbang membeli di toko atau pasar. Di antara beragam kue yang dihidangkan, **Tapai Ketan** menjadi primadona yang selalu dinantikan. Artikel ini mengupas aktivitas warga Sriwidadi dalam menyambut Lebaran 1446 H, khususnya dalam menyiapkan Tapai Ketan sebagai hidangan ikonik.
Tradisi Membuat Kue Lebaran: Antara Kearifan Lokal dan Kebersamaan
Di Desa Sriwidadi, menyiapkan kue lebaran bukan sekadar urusan kuliner, melainkan bagian dari pelestarian warisan leluhur. Sejak seminggu sebelum Lebaran, ibu-ibu dan remaja putri mulai berkumpul di dapur-dapur rumah warga atau berkelompok untuk membuat aneka kue. Meski pasar tradisional menyediakan beragam panganan siap saji, warga lebih memilih menghidupkan tradisi turun-temurun dengan mengolah bahan lokal seperti ketan, gula merah, dan santan.
Kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi dan gotong-royong. Misalnya, kelompok ibu-ibu di lingkungan Tukun Tetangga setempat atau sanak keluarga terdekat rutin mengadakan *workshop* memasak untuk berbagi resep autentik, sementara anak muda diajak terlibat dalam proses pembuatan agar tradisi tak punah. “Membuat kue sendiri itu rasanya lebih bermakna. Selain lebih hemat, kita bisa menjamin kebersihan dan kehalalannya,” ujar salah satu warga desa.
Tapai Ketan: Hidangan Legendaris yang Menyimpan Cerita
Tapai Ketan bukan sekadar makanan ia adalah simbol kemeriahan Lebaran di Sriwidadi. Hidangan fermentasi dari beras ketan ini telah menjadi sajian wajib sejak puluhan tahun silam. Konon, tradisi ini bermula dari kebiasaan nenek moyang yang memanfaatkan hasil panen ketan melimpah untuk diolah menjadi hidangan istimewa saat hari besar.
Keunikan Tapai Ketan di Sriwidadi terletak pada penggunaan **ragi lokal** yang diwariskan secara turun-temurun. Ragi ini dibuat dari campuran rempah-rempah seperti jahe, lengkuas, dan daun pandan, yang difermentasi selama seminggu hingga menghasilkan aroma khas. Selain itu, ketan yang digunakan adalah varietas **ketan putih maupun hitam**, yang diyakini memiliki cita rasa lebih manis dan tekstur kenyal.
Proses Pembuatan Tapai Ketan: Dari Ketan hingga Fermentasi
Pembuatan Tapai Ketan di Sriwidadi dilakukan dengan telaten, melibatkan beberapa tahap krusial:
1. **Pemilihan Bahan**: Ketan putih maupun hitam dipilih yang masih segar dan bebas pecah.
2. **Pencucian dan Perebusan**: Ketan direndam semalaman, lalu dikukus hingga matang.
3. **Pemberian Ragi**: Ketan yang sudah dingin dicampur ragi halus, diaduk merata.
4. **Fermentasi**: Ketan dibungkus daun pisang atau dimasukkan ke dalam gentong tanah liat atau ember besar , lalu disimpan di ruang gelap selama 2-3 hari.
Proses ini memerlukan keahlian khusus, terutama dalam mengontrol suhu dan kelembapan. Kesalahan kecil bisa menyebabkan Tapai menjadi terlalu asam atau berair. “Kuncinya ada di ragi dan kesabaran. Harus pas takarannya, tidak boleh terburu-buru,” jelas Mbah Sukinah, sesepuh desa yang ahli membuat Tapai.
Nilai Sosial dan Budaya di Balik Tapai Ketan
Aktivitas membuat Tapai Ketan menjadi momen untuk mempererat hubungan sosial. Keluarga besar sering berkumpul di rumah orang tua untuk memasak bersama, sementara tetangga saling membantu menyiapkan bahan. Tak jarang, Tapai Ketan hasil buatan sendiri dibagikan ke sanak saudara sebagai bentuk rasa syukur dan kebersamaan.
Di sisi budaya, Tapai Ketan juga diyakini membawa berkah. Sebagian warga meletakkan Tapai di pojok rumah atau meja makan sebagai simbol kemakmuran. Tradisi ini bahkan diintegrasikan dalam acara *syukuran desa* seminggu sebelum Lebaran, di mana Tapai Ketan disajikan bersama tumpeng dan lauk tradisional.
Tantangan dan Upaya Pelestarian
Meski digemari, tradisi ini menghadapi tantangan. Generasi muda mulai enggan belajar membuat Tapai Ketan karena prosesnya rumit dan memakan waktu. Selain itu, harga bahan lokal seperti ketan putih maupun hitam semakin mahal, mendorong sebagian warga beralih ke bahan pabrikan yang lebih murah.
Tapai Ketan sebagai Identitas Budaya
Bagi Desa Sriwidadi, Tapai Ketan lebih dari sekadar hidangan lebaran ia adalah kebanggaan dan penanda identitas. Di balik lembutnya ketan dan manisnya fermentasi, tersimpan nilai-nilai kebersamaan, ketelatenan, dan penghormatan pada alam. Tradisi ini menjadi bukti bahwa di era modern, kearifan lokal tetap bisa bertahan dengan dukungan kolaborasi antargenerasi.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, mohon maaf lahir dan bathin, semoga semangat warga desa Sriwidadi dalam merawat tradisi menginspirasi kita semua untuk tetap menghargai warisan budaya.
Komentar
Posting Komentar